Catatan Perjalanan : BUKIT RAYA (RETURN-2022)

Bukit Raya? tahun 2015 udah pernah ke tempat ini. Yang paling gue ingat adalah hutan lebat, sungai, upacara adat, dan tentunya hewan favorit disini, pacet. Ya, pacet menjadi momok pendaki yang ingin melakukan perjalanan di Bukit Raya. Hewan ini merupakan binatang pengisap darah, sekerabat dengan cacing tanah, berbadan langsing mengecil ke depan, berwarna cokelat kekuning-kuningan sampai kehitam-hitaman, panjangnya sampai 50 mm, pada kepala terdapat lima pasang mata dan sebuah alat sebagai pengisap, di ujung belakang terdapat alat sebagai pelekat, berjalan seperti ulat jengkol, dapat memipihkan tubuh sampai sekecil benang.

Lah, ngapa dah malah bahas pacet, skip. Kalo ke gunung ini, kita tuh emang harus berdamai dan akur dengan pacet. Bukit Raya, walaupun gunung ini letaknya sangat jauh dari bandara (sekitar 2 hari perjalanan), tapi, karena merupakan bagian dari rangkaian 7 Summits Indonesia, orang-orang akan tetap datang kesana lagi.

Dan, gue pun kembali di akhir Desember 2022 kemaren karena temen-temen merencanakan perjalanan ke sana. Kali ini, gue mau coba membuat catatan perjalanan yang agak rinci atas detail gunungnya, agar bisa jadi panduan..

Here We Go!

Day 1 – 25 Desember 2022

Ga kebayang deh kalau gue akan menyambangi Bukit Raya lagi. Selain karena jauh, biaya yang mahal, juga karena gunung ini dalam ingatan gue merupakan perjalanan yang bikin sengsara. Banyaknya pacet, perjalanan yang jauh untuk mencapai desa terakhir, dan tidak adanya pemandangan yang menarik yang biasa gue jumpain di gunung lainnya membuat gue sebenernya enggan untuk datang lagi. Tapi, ya gitu deh, tiba-tiba di hari Natal kemaren gue sudah duduk di kursi pesawat dengan rute Jakarta-Pontianak.

Tiba di Pontianak, gue dan teman lainnya berkumpul di bandara Supadio, dan kemudian melanjutkan wisata kuliner di kota Pontianak. Sempat memisahkan diri karena gue ingin mencoba bersantai di salah satu kedai kopi terkenal di kota ini, yaitu Kopi Aming. Sorenya baru ngumpul lagi dengan teman-teman lainnya di salah satu kediaman senior yang kebetulan sedang bekerja di Pontianak, mas Danang.

Setelah beberes, sekitar abis Isya, tim pun berangkat menggunakan mobil rental menuju Nanga Pinoh, sebuah kecamatan di Sintang, menuju dermaga kapal speed boat yang akan membawa kami menuju Desa Rantau Malam.

Day 2 – 26 Desember 2022

Pukul 4 pagi, mobil rental-an yang kita gunakan sebagai moda transportasi dari Pontianak ke Nanga Pinoh berhenti. Gue yang masih setengah sadar akibat efek antimo, langsung terjaga penuh dan tau kalo kami sudah tiba di Nanga Pinoh, persis deket dengan dermaga. Warung kopi di jam segini sudah ada yang buka, dengan pelanggannya adalah para nakhoda perahu yang beroperasi pagi di sungai Kapuas. Gue bareng yang lain masuk ke warung tersebut dan mencoba kopi susu khas-nya serta telor setengah matang.

Berhubung waktu subuh telah tiba, kita pun mencoba sholat seadanya dengan cara duduk karena pemilik warung tidak memiliki tempat untuk sholat, dan hanya untuk mengetahui kemudian kalau tidak sampai tiga ratus meter jaraknya, ada Masjid yang besar, hahaha…

Pukul delapan pagi, kami mulai packing barang-barang yang kami bawa ke speed boat yang disewa. Ada tiga speed boat yang kami gunakan, karena Gokong, EO perjalanan ini, membawa banyak logistik. Total tim kami adalah sepuluh orang, yang terdiri dari empat orang wanita dan enam orang pria. Semuanya sudah saling kenal sebelumnya, sehingga di perjalanan ini, kami tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan bahan candaan dan bulli-an.

Oh ya, gue mau kenalin teman seperjalanan gue kali ini. Ada Gokong, rekan ekspedisi 7 summits gue, yang bercita-cita jadi guide handal dan sering kalah maen kartu. Ada Ozzy, abang gue yang jadi teman seperjalanan tiap ada event olahraga, yang tidak berambisi menjadi seven summiter tapi entah kenapa teracuni buat naik gunung-gunung tinggi. Ada Angga, senior di tempat kerja gue yang hobi pull up, yang dah lama ga naek gunung dan dijuluki otot. Ada Lucky, si paling sabar, yang mengejar khatam seven summits Indonesia di perjalanan ini. Ada mas Eko yang suka ngudut, ga mikirin pacet gigit apa ga, dan piawai dalam manajemen pendakian gunung. Ada mbak Neny, senior gue yang baik dan keren di STAPALA, yang senang bikin konten tentang gunung dan hasilnya keren banget. Ada mbak Diny, istri senior gue di STAPALA, yang paling baek dan diem diem dah khatam lima gunung seven summits. Ada mbak Nur, temen perjalanan dulu ke Elbrus dan Kilimanjaro, yang takut pacet dan suka ngomel, hehe. Dan terakhir, ada mbak Sita yang kalem dan jadi temen ngudut mas Eko.

Dari dermaga Nanga Pinoh menuju Muara Serawai membutuhkan waktu sekitar tiga setengah jam. Sesampai di Serawai, kami makan siang sembari menunggu awak perahu membongkar muat barang kami untuk dipindahkan ke perahu jenis long boat dan klotok.

Sekitar pukul setengah dua siang, kami berangkat kembali menuju desa Rantau Malam menyusuri sungai Serawai. Sepanjang perjalanan, praktis gue hanya bisa membaca dari smartphone karena di perjalanan ini gue lupa bawa buku. Jaringan telepon sudah tidak ada. Perjalanannya sendiri membutuhkan waktu sekitar empat jam.

Sekitar pukul setengah enam sore, kami pun tiba di Rantau Malam. Perahu yang kami tumpangi ternyata berlabuh di dusun yang berbeda dengan rumah warga yang akan kami tumpangi, sehingga kami harus berjalan kaki kembali sekitar dua puluh menit.

Malam menjelang, bintang sedang tidak nampak di langit, karena awan sedang mendung, gue dan tim tiba di salah satu rumah warga. Di desa ini, listrik belum sampai, sehingga warga yang membutuhkan listrik biasanya menggunakan tenaga solar ataupun diesel. Beruntungnya sekarang, pihak Taman Nasional TNBBBR, yang bekerja sama dengan penduduk desa Rantau Malam, telah menyediakan fasilitas seperti adanya homestay, penyediaan hasil kerajinan tangan, dan pengelolaan porter dan guide. Hal ini dilakukan mengingat semakin banyaknya pengunjung dan pendaki yang ingin merasakan alam Bukit Raya.

Tentunya, hal ini kontras sekali dengan kondisi yang gue temuin tujuh tahun lalu, dimana gue dan tim ekspedisi menginap di pos Rantau Malam, sebuah bangunan yang digunakan oleh pihak Taman Nasional untuk keperluan administrasi dan unit singgah.

Waktu itu, begitu tiba di desa, kami sudah merasakan seperti rasanya masuk hutan, dengan masak sendiri, tidur dengan matras, dan tidak adanya WC membuat kami kalau untuk keperluan mengambil air ataupun melepas hajat harus ke sungai yang posisinya di sebelah desa. Juga, dulu kami sampai harus dibantu oleh Pak Pius, salah satu petugas TNBBBR yang merupakan warga lokal, untuk mengurus keperluan pendakian yang akan kami lakukan.

Malam itu juga, kami melakukan upacara adat, yang menjadi ritual wajib bagi para pendaki yang ingin memasuki kawasan hutan Bukit Raya. Ritual in dilakukan oleh petinggi adat di Rantau Malam. Dua ekor ayam pun disembelih, karena kami menggunakan dua homestay malam itu.

Surprisingly, petinggi adat di Rantau Malam memahami bahwa ada bagian ritual adatnya yang tidak sesuai dengan konsep agama yang dianut oleh para pendaki, jadi terkadang mereka menyesuaikan bagian tersebut. Btw, gue terkenang dengan kejadian terakhir gue menyembelih ayam dulu, lucu deh.

Day 3 – 27 Desember 2022

Pukul 5 pagi, gue udah terjaga. Tidur malam itu cukup enak, karena dapat kasur cukup empuk. Sepertinya untuk dapat menjadi homestay, ada kualifikasi tertentu yang harus dimiliki. Memiliki WC di dalam rumah dan memiliki listrik menjadi syarat utama. Rumah warga yang kami singgahi ini menurut gue sudah sangat nyaman untuk ditempati.

Setelah beberes dan sarapan, sekitar pukul delapan pagi, tim yang didampingi oleh tujuh orang porter pun berangkat menuju batas hutan. Namun, terlebih dahulu kami harus menyeberangi sungai yang dalamnya hampir sepaha dan memiliki arus yang cukup deras. Saat ini, sepeda motor sudah tidak dapat dipakai untuk mencapai pintu hutan, yang dikenal dengan nama Korang HP.

Dulu waktu tahun 2015, gue berkesempatan mendapat pengalaman naik sepeda motor dari desa menuju Korang HP. Sekarang, jalannya sudah rusak, dan otomatis, perjalanan menuju Korang HP hari ini menjadi tantangan pertama buat tim. Selain jaraknya yang jauh, hampir sepuluh kiloan, juga cuacanya yang panas dan pastinya sinar matahari akan mencium tubuh kami.

Tiba di Korang HP sekitar pukul setengah 12 siang, kami istirahat sebentar untuk kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Untuk informasi, sebenarnya ada delapan pos sebelum menuju summit. Namun, Pos 1 dan Pos 2 memiliki jalan yang berbeda dengan yang kami tempuh lewat Korang HP, karena jaraknya yang cukup jauh. Jadi, dari Korang HP menuju Pos 3, akan dijumpai simpang tiga di dalam hutan yang satunya mengarah ke jalur lama, yaitu Pos 1 dan Pos 2. Di simpang ini jugalah akan ditemukan papan penunjuk jarak yang dipasang oleh pihak TNBBBR, yang mana sebelumnya gue tidak lihat di tahun 2015.

And, welcome to the jungle! dimana burung berbagai jenis, pacet dan semut menjadi hewan yang akan paling sering ditemuin sepanjang pendakian.

Oh ya, kehadiran papan penunjuk jarak inilah yang menurut gue sangat membedakan perjalanan di hutan Bukit Raya kali ini dengan perjalanan yang gue lakukan sebelumnya. Papan penunjuk ini akan dijumpai mulai dari jarak 19.900 meter dari puncak yang persis di simpang tiga. Artinya dari simpang tiga menuju summit Bukit Raya, kita masih harus menempuh jarak 19,9 km, cukup jauh ya. Papan penunjuk ini juga lah yang menjadi pedoman selama berada di hutan Bukit Raya.

Kalau dulu pas pertama kali kesini, gue agak ragu buat jalan sendirian di hutannya karena jalur pendakiannya tidak terlalu terlihat, sering ketutupan daun dan kadang harus memutar karena ada pohon tumbang. Di perjalanan kali ini justru gue merasa biasa aja kalaupun harus jalan sendirian di hutan, cukup memastikan sepanjang 100 m ataupun 200 m masih menemukan papan penunjuk selanjutnya, berarti benar, kalau tidak, yaa balik lagi ke papan sebelumnya karena berarti lo salah jalan.

Kami tiba di pos 3 sekitar pukul dua siang. Pos 3 berada di jarak 19.400m. Disini kami hanya berhenti sebentar untuk mengisi perbekalan air karena ada sungai mengalir yang airnya layak dikonsumsi. Selanjutnya, kami berjalan kembali menyusuri hutan. Sesekali ada pohon tumbang sehingga harus melipir dari jalur setapak dan menerobos semak berduri yang menjadi vegetasi utama di sepanjang jalur. Jangan ditanya deh pacet hinggap apa ga, itu sudah hal wajib. Apalagi kena duri, pasti bentol deh bekas durinya, seperti ada racunnya.

Pos 4- Sungai Menyanoi, 17.700m, setengah lima sore. Terdapat bangunan pondokan permanen di pos ini. Setelah mendirikan tenda, gue dan beberapa temen meniatkan untuk bebersih di sungai kecil yang letaknya sekitar sepuluh menit dari camp. Airnya jernih, tapi berwarna kemerahan karena akar-akar yang menjalar di sekitar pinggiran sungai. Segar sekali selepas mandi! dan, malam itu kami habiskan waktu dengan main kartu, dimana gue agak sering kalah, tumben.

Day 4 – 28 Desember 2022

Pagiku cerah, matahari bersinar..hari ini perjalanan kami lanjutkan kembali. Setelah sarapan dan packing, kami pun berjalan kembali. Tujuan pertama adalah Pos 5. Setelah sekitar tiga setengah jam berjalan naik turun, kami pun tiba di sungai yang jernih, yang menandai Pos 5 telah di depan mata.

Tahun 2015, Pos 5 kami jadikan camp di malam pertama dan malam ketiga. Kenapa? Karena di pos 5, air sungainya dekat sekali dan bisa dipakai sebagai sumber air untuk kebutuhan konsumsi. Juga bisa dipakai mandi. Pos 5-Hulu Rabang, berada di jarak 11.600m. Cukup luas, terdapat bangunan pondokan juga disini. Menurut gue, sangat worth it untuk mendirikan tenda disini, dua malam juga ga masalah.

Di pos 5 kami istirahat sekalian makan siang. Sekitar pukul satu siang, kami melanjutkan perjalanan kembali. Mulai dari pos 5 ke pos selanjutnya adalah bagian penderitaan dimulai. Jalurnya menanjak terus, dan hutannya semakin rapat yang membuat pacet semakin mudah untuk menempel.

Ini pacet lucu loh btw, seperti ajojing untuk mencari perhatian, kalau dicuekin, dia akan nempel ke bagian tubuh manapun yang dia bisa jangkau. Biasanya yang perlu diwaspadai adalah bagian kaki, karena pacet-pacet ini sebagian besar berada di tanah yang ditutupi oleh dedaunan kering.

Jadi, kalau lagi berjalan di hutan Bukit Raya, senantiasalah memperhatikan bagian kaki, tau-tau udah nempel banyak tuh pacet. Jangan sampe dia menempel di kulit, karena sekali tergigit, walaupun nanti lepas, darah pasti akan tetap mengucur akibat zat pengencer darah yang dimiliki pacet.

Untuk perjalanan ini, masing-masing orang membekali diri dengan semprotan yang diisi oleh dettol anti bacterial. Cukup ampuh untuk membuat pacet yang menempel langsung kepanasan, walaupun tidak membunuhnya.

Di jarak 9.000m, kami menjumpai pos 6 setelah berjalan sekitar dua jam. Karena hari semakin sore, kami memutuskan untuk melangkah kembali agar tidak kemaleman di jalan. Ribet. Nanti pacetnya ga keliatan. Akhirnya setelah berjalan tanpa henti menembus hutan rimba, di jarak 5.500m kami pun tiba di Pos 7, yang sekaligus tempat kami camp malam ini.

Di pos ini pacetnya banyak banget, sehingga kalau mau masuk tenda harus periksa dulu semuanya agar tidak ada yang ikutan nebeng tidur. Malam itu kami tidak banyak kegiatan, hanya main kartu sebentar sambil menunggu nasi matang. Perjalanan lebih panjang menanti kami esok hari.

Day 5 – 29 Desember 2022

Summit day! Pukul dua pagi gue udah terjaga. Kita sepakat berjalan di pukul tiga. Gue berharap bisa ketiduran lagi minimal setengah jam. Efek kopi yang gue minum tadi malam membuat gue susah tidur. Teman setenda sudah mulai packing. Akhirnya gue pun ikut-ikutan deh packing. Ga banyak sih barang yang mau dibawa. Gue khusus bawa drybag. Isinya berupa makanan dan air minum. Seingat gue, harusnya tidak terlalu dingin. Yang mana gue pun salah. Ternyata anginnya kencang banget.

Kami mulai berjalan sekitar pukul setengah empat. Gue dan Gokong bergantian di depan mencari jalur. Karena gelap, jadi kadang gue kesulitan menentukan arahnya. Hutan yang rapat membuat jalur terkadang tertutup. Sekitar pukul lima pagi, kami tiba di simpang pos 8, yang salah satunya simpangnya mengarah ke tapal batas Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.

Setelah istirahat sholat, kami melanjutkan perjalanan kembali. Jalurnya mulai menanjak, tapi bukan yang ekstrim, sehingga kami tidak terlalu kesulitan. Di papan penunjuk 2.100m, kami mendapati tebing yang disebut tebing jempol, yang jalurnya cukup berat dan harus menggunakan webbing sebagai pegangan. Ada sekitar 400m tanjakan terjalnya hingga ke papan jarak 1.700m.

Selanjutnya, jalurnya cukup landai dan sesekali naik turun. Hutan lumut yang indah dan mistis juga akan ditemui. Disini pacet sudah mulai tidak terlihat. Kita juga akan menemukan tumbuhan kantung semar di sepanjang jalur mendekati puncak.

Sekitar pukul setengah sembilan, gue dan bang Ozzy pun tiba pertama di puncak. Tidak lama kemudian, satu persatu teman pun bermunculan. Suasana pun ceria serta haru, karena perjalanan yang sulit untuk menggapai puncak Kakam, puncak Bukit Raya. Satu dari seven summits Indonesia.

Puas menikmati puncak, gue pun turun duluan dengan bang Ozzy sekitar setengah 11. Total jarak dari pos 7 ke puncak itu sekitar 5.500m, yang artinya untuk PP butuh 11km. Sementara target camp kami malam ini adalah di pos 5, yang berada di jarak 11.600m dari puncak. Cukup jauh ternyata hari ini. Makanya gue pun bergegas ketika turun.

Kami tiba di pos 7 sekitar pukul satu siang. Jangan ditanya deh, gimana perjuangan turunnya. Sering bgt kepleset. Jalurnya bebatuan, kayu, dan lumut, mana basah. Di pos7 kami packing dan istirahat lunch sebentar.

Sekitar pukul dua siang, kami melanjutkan perjalanan kembali dengan membawa tas masing-masing. Dari pos 7 menuju pos 5 kami tempuh dengan waktu sekitar dua jam. Di perjalanan ini, kita papasan dengan dua tim lain yang berasal dari Jakarta. Ini buat gue merupakan hal yang menyenangkan, karena bisa bertukar cerita singkat dan saling menyemangati.

Gue juga merasakan hal yang berbeda di perjalanan ini. Keberadaan papan penunjuk jarak emang membuat gue lebih pede untuk menyusuri hutan Bukit Raya. Gue dan bang Ozzy turun dengan cepat. Kami becanda dengan menyebut ini seakan lagi turun dari puncak Gunung Gede ke Cibodas.

Sekitar pukul empat sore, kami pun tiba di pos 5. Lega rasanya sudah tiba masih terang dan ga terlalu sore. Otomatis, gue pun tertarik untuk membersihkan badan di sungai kecil di dekat pos 5. Airnya jernih banget. Ikan-ikan kecil terlihat berenang dengan ceria di dasar sungai.

Malam menjelang, suasana berubah gelap. Para porter asik mengobrol dan main kartu di pondokan pos 5. Sementara itu, gue rebahan di dalam tenda sambil membaca novel yang tersimpan di dalam hp. Untungnya gue dapat pinjaman power bank malam sebelumnya. Niatnya mau nungguin tim lain tiba juga di pos 5, tapi mata gue berat banget..

Day 6 – 30 Desember 2022

Pagi ini, gue berniat mandi lagi di sungai sebelum berangkat. Niat banget dah. Pukul setengah 6 pagi, matahari udah naik. Hari sudah terang. Gue berjalan ke arah sungai. Kayak mau mandi, tp kok merasa bakal dingin banget. Tapi, ternyata engga. Segar banget. Satu-persatu temen gue pun mulai mandi juga, gantian sih tepatnya. Sungainya kecil. Buang hajat? duhh senang banget dengan keberadaan sungai ini.

Selepas sarapan dan beberes, kami melangkah kembali. Hari ini adalah hari terakhir. Kami dijadwalkan sudah tiba di desa maksimal maghrib. Bakal panjang emang. Tapi, tentu saja suasana hati semua orang sangat ceria. Mungkin efek tidur enak tadi malam dan mandi sungai yang menyegarkan.

Perjalanan pulang ini hampir sama saja treknya dengan perjalanan pergi. Tetap saja ada tanjakan. Jadi, beda waktu tidak begitu banyak. Gue menikmati perjalanan di hutan Bukit Raya ini. Matahari bersinar terik. Hutannya yang rimbun membuat sinar matahari tidak dapat menembus banyak spot di hutan. Kami tiba di batas hutan lagi sekitar pukul tiga sore. Dari titik Korang HP ini ke desa masih harus menempuh jarak sekitar delapan kilo lagi.

Gue tiba di desa sekitar pukul setengah lima sore. Langit masih terang. Gue pun beberes kembali sambil menunggu teman lainnya tiba. Satu persatu pun mereka tiba. Akhirnya selesai juga perjalanan di hutan ini. Malam itu, kami kembali menjalani upacara adat. Gue kebagian tugas menyembelih ayam. Ga tega gue. Tapi, yaa mau gimana. Akhirya besoknya pas ayam itu disajikan dalam bentuk lauk untuk sarapan pagi, gue ga makan sama sekali. Hanya nasi ma sayuran doang.

Day 7 – 31 Desember 2022

Pagi menjelang di desa Rantau Malam. Kabut perlahan menghilang. Pukul lima pagi gue udah terjaga dari kasur empuk. Selepas sholat, gue packing barang kembali. Kemudian, gue pergi ke sungai di sebelah desa dengan niat mandi. Mumpung masih disini, gue mau puas-puasin mandi di sungai. Airnya jernih. Tapi arusnya deras di tengah, walaupun dalamnya hanya sepinggang. Sungai di desa ini ibarat tulang punggung yang menopang kehidupan masyarakat.

Sekitar pukul sembilan pagi, setelah sarapan dan pamitan dengan orang desa, kami pun menaiki perahu klotok yang akan membawa kami menyusuri sungai Serawai, menuju pulang.

Selesai sudahh perjalanan ini. Gue sangat menikmati perjalanan kali ini. Teman-teman yang seru, cuaca yang tidak jelek, pacet yang tidak terlalu galak, dan tentunya karena anugerah dari Yang Maha Kuasa gue masih diberi kesehatan dan rezeki untuk dapat menikmati keindahan alam-Nya ini.

See you?

Bandung, 14 Januari 2023

Leave a comment