Aconcagua, The White Sentinel – Sebuah Perjalanan Menapak Jejak di Titik Tertinggi Amerika (Part II)

26734409_10210058774895486_8898364730828150067_n

1 Januari 2018
New year has come! (New hopes, new ambitions, new goals. Semoga menjadi tahun penuh berkah bagiku). Malam pergantian tahun itu aku sempat mendengar suara-suara berisik yang merayakannya. Aku tidur dengan cukup nyenyak. Membuang hajat juga cuma sekali saja malam itu. Efek obat tidur yang aku konsumsi terbilang mujarab. Sebenarnya guide kami sih tidak memperbolehkan untuk mengkonsumsi obat-obatan seperti itu, hanya saja aku khawatir kalau tidak memperoleh istirahat yang cukup malam itu karena hari ini kami akan memulai kembali perjalanan ke Camp 1.

Kami sarapan dengan cukup cepat. Seperti biasa, menunya tidak ada yang membuat aku cukup selera. Jadi, aku hanya makan sekedarnya saja. Menunya terdiri dari porridge (bubur), telor orak arik (ga enak), dan roti. Kalau aku melihat Gonzalo dan Boca, mereka kok selera sekali ya makan. Jadi iri.

Pukul sembilan pagi, kami mulai packing. Tujuan kami hari ini adalah berjalan ke Camp 1, membawa peralatan masak dan bahan makanan untuk kelompok kami selama pendakian menuju summit. Karena jumlahnya yang banyak, jadi membawanya perlu dicicil. Setengah jam setelah semua perlengkapan sudah siap, kami pun mulai berjalan. Perlahan saja. Tidak terburu-buru. Tujuannya selain membawa perlengkapan adalah memang untuk aklimatisasi juga. Ketinggian Camp 1 adalah sekitar 5000 mdpl. Bernama Plaza Canada. Oh ya, kami sudah menggunakan double boot hari ini!

Perjalanan menuju camp 1 ini terbilang susah menurutku pada hari itu. Kami ketika turun terkena Elviento Blanco atau badai putih. Salju turun dengan derasnya dan angin bertiup kencang. Jarak pandang terbatas sekali, padahal treknya curam. Kami berjalan cukup pelan dan tetap menjaga keselamatan. Pemandangan barisan pegunungan Andes yang terlihat ketika naik, tidak ada lagi.

Pada akhirnya kami berhasil juga tiba kembali dengan selamat di basecamp ketika sudah menjelang sore. Total perjalanan naik sekitar empat jam, dan turunnya cukup dua jam saja. Saatnya istirahaaat!

2 Januari 2018
Hari beristirahat kembali. Tidak banyak yang dilakukan. Salju terus turun seharian sehingga semua jalanan tertutup salju. Putih belaka.

27628687_10210196979070504_5427666816674179836_o

3 Januari 2018
Cuaca dingin membuat aku terbangun pagi itu. Aku melihat jam tangan, sudah menjelang subuh. Aku keluar untuk membuang hajat, dan sukses menggigil karena hanya menggunakan inner jacket saja. Angin bertiup dengan lembut menyentuh tengkuk. Masih gelap. Aku melihat langit, cukup berawan. Hujan salju sudah berhenti.

Hari ini waktunya untuk menuju kembali ke Camp 1. Memulai perjalanan summit. Kami sarapan terlebih dahulu sebelum memulai perjalanan. Seperti biasa, sarapannya tidak aku sukai. Telur yang aku minta tidak dimakan habis. Mending menghabiskan roti tawarnya saja. Buat mengisi perut.

Cuaca berawan, tapi tidak hujan salju lagi. Semangat kami membara. Kami memulai melangkah dengan perlahan. Seperti biasa, Gonzalo memimpin perjalanan, disusul oleh mbak Teja dan bg Hendri, barulah Gokong, Aku, dan Ohan dibelakangnya. Paling belakang tetap Boca, sebagai sweeper. Namun ditengah perjalanan, Boca melesat kedepan dengan alasan untuk mempersiapkan tempat mendirikan tenda dan memasak air hangat.

Perjalanannya seperti yang sudah kami lakukan dua hari sebelumnya,  cukup sulit. Karena kami sudah menggunakan double boot. Berat, dan masih saja aku belum menemukan kenyamanan menggunakan double boot pinjaman itu. Sepertinya untuk ekspedisi berikutnya aku harus sudah memiliki sepatu itu sendiri. Hehe….Lagi-lagi, sepanjang perjalanan aku disuguhkan dengan keindahan alam Aconcagua. Barisan pegunungan Andes yang membentang di sekeliling, salju dimana-mana, membuat perasaan haru biru. Alhamdulilah diberi kesempatan mendapatkan pengalaman ini.

Begitu tiba di Camp 1, aku dan lainnya sebentar saja istirahat, untuk kemudian sibuk lagi mendirikan tenda. Proses mendirikan tenda di high altitude seperti ini berbeda. Angin yang bertiup sangat kencang, sehingga membutuhkan teknis khusus untuk mendirikannya.

Masuk tenda, beberes pakaian. Udah. Tinggal menunggu makan dan tidur deeeh. Senangnya kalau sudah masuk tenda gini.

4 Januari 2018
Tidur tidak terlalu nyenyak sepertinya malam ini. Kalau dipikir-pikir ketinggian camp 1 ini sudah di atas ketinggian puncak tertinggi di Indonesia, Carstensz. AMS makin menyerang tiap orang-orang. Termasuk aku. Mulai dari nafsu makan, sakit kepala, tidak bisa tidur, hingga keinginan meminum air.

Pagi itu kami sudah mulai packing lagi, karena kami akan melanjutkan perjalanan ke Camp 2, Nido de Condores, ketinggian sekitar 5450 mdpl. Sebelum berangkat, kami tetap diuji oleh Gonzalo terkait blood saturation. Untung saja, semuanya lolos dan dinyatakan masih layak melanjutkan perjalanan. Dilanjutkan dengan sarapan yang disiapkan oleh guidenya, dimana yang aku makan adalah biskuit saja.

Selepas packing, sekitar pukul 10 pagi, kami pun memulai perjalanan. Beban peralatan seperti tenda kelompok, sleeping bag, dan beberapa perlengkapan lainnya sudah dibawa terlebih dahulu oleh porter tim. Walaupun begitu, masing-masing dari kami masih membawa sekitar lima belas kilogram beban. Kurang lebih. Saya tidak terlalu menghitungnya.

Cuaca cerah, matahari bersinar dengan cerahnya. Aku dan lainnya memulai perjalanan. Dengan formasi seperti biasa. Namun Boca berjalan terlebih dahulu seperti hari sebelumnya. Mempersiapkan ini itu. Trek hari ini cukup menantang, walaupun tidak securam kemarin. Namun begitu, cukup panjang dan melewati cerukan salju tebal beberapa kali. Dan, pada perjalanan menuju camp 2 ini cukup menyiksa dengan angin kencangnya. Sangat kencang. Sampai-sampai aku juga terkadang saat berjalan jadi goyah. Harus mengencangkan tapak kaki ke permukaan es.

Melelahkan. walaupun cuaca tetap cerah, tetapi anginnya tidak berhenti bertiup. Untungnya salju berhenti turun hari itu. Karena kalau turun lagi, sepertinya jalannya akan makin berat, karena treknya tertutup. Pemandangannya? Jangan ditanya! Es semua. Hahaha… tebing-tebingnya dilapisi es. Jalanannya dilapisi es.

Sekitar empat jam lebih berjalan, tiba juga kami di ketinggian 5450 mdpl. Sudah masuk ke area camp 2, cukup luas, dan datar. Baiklah, perjalanan hari ini berakhir. Alhamdulilah, semuanya masih dalam kondisi baik. Tidak ada kekurangan apapun. Palingan ya hajat yang dibuang sepanjang jalan saja, :p

5 Januari 2018
Jadwalnya rest day. Selain untuk membiasakan bernafas di ketinggian (dipikir-pikir, ini udah tinggi sekali, sebentar lagi kami akan mencapai ketinggian puncak tertinggi di Eropa), kami juga memiliki jadwal untuk berlatih menggunakan crampon sebagai persiapan summits.

Oh ya, Ohan yang belum pernah mencapai ketinggian di atas 4000an sebelumnya, dan baru di pendakian gunung ini berhadapan langsung, sepertinya cukup berhasil berkenalan dengan ketinggian ini. Walaupun terkadang down, dan tidak seperti biasanya, Ohan tetap bertahan. Salut!

At least, Huraay, rest!

6 Januari 2018
Perasaan ingin membuang hajat kembali membangunkanku untuk kesekian kalinya. Aku keluar, menggigil, dan merapatkan down jacket yang kupakai. Langit cerah, pemandangannya luar biasa indah, dimana bintang-bintang terlihat terang sekali menghiasi langit malam. Setiap melihat pemandangan seperti ini, aku merasa bahwa aku ingin tinggal di tempat yang bisa melihat pemandangan seperti ini setiap hari. Mungkin sambil duduk-duduk, atau sambil main gitar, atau bahkan sambil tiduran.

Waktu sudah menunjukkan pukul empat pagi. Aku kembali ke tenda dan tidur-tiduran lagi. Air di termos sudah tidak panas. Walaupun begitu, tetap saja kutenggak habis isinya. Salah satu penyebab sering membuang hajat adalah karena kami memang diwajibkan oleh guide untuk sering meminum air putih, minimal lima liter seharian. Wajar kan?

Aku terbangun lagi pukul delapan, matahari sudah bersinar terik. Dua teman sudah ribut saja grasak grusuk. Terutama Gokong, yang sudah bolak-balik keluar tenda. Kami berencana untuk memulai perjalanan kembali pukul sembilan pagi ini. Efek rest day kemarin ternyata bermanfaat sekali, badanku hari ini cukup segar dan siap untuk memulai pendakian kembali. Namun, ketika sarapan, tetap saja selera makanku tidak kembali karena menu sarapannya tidak ada yang menggugah selera.

Formasi perjalanan hari ini sama seperti sebelumnya. Treknya cukup curam, karena kami berencana akan mendaki hingga ketinggian 6000 mdpl. Sempat singgah di Berlin refuge, sebuah tempat dimana dulunya dijadikan camp, untuk beristirahat. Setelahnya sebelum mencapai camp 3, kami naik sebuah tebing yang cukup terjal, sehingga membutuhkan tali sebagai alat keamanan. Walau begitu, semuanya berhasil tiba di areal camp 3 yang cukup luas. Aku memandang lepas ke arah puncak Aconcagua. Sudah terlihat jalurnya. Besok insya Allah akan kesana.

Sore itu, sesaat ketika sudah di dalam tenda, kami satu persatu didatangi oleh Gonzalo. Seperti biasa, cek blood saturation. Dan alhamdulilah, aku, gokong, dan ohan dinyatakan layak untuk tetap melanjutkan perjalanan karena hasil ceknya baik. Rata-rata di angka 75%. Kami semua pun tost dan berseru gembira. Aklimatisasinya berjalan dengan baik. Tubuh kami masih sanggup hingga di ketinggian 6000an ini.

Dan sore itu juga, aku menatap jauh ke atas. Cuaca cerah, matahari bersinar begitu terik sehingga aku menggunakan kacamata ski. Cerah sekali. Banyak aktivitas di sekitaran areal camp. Bahkan ada yang berlari-lari kecil. Aku cukup dengan berdiam diri, dan menikmati pemandangan. Sungguh indah, perpaduan antara salju dan pegunungan ini. Tiada bosannya melihat. Aku berharap, besok ketika summit, cuaca akan tetap cerah. Semoga.

27369110_10210196986670694_7555957667423281015_o

7 Januari 2018
Aku terbangun sekitar pukul tiga pagi. Dan rekanku juga. Kami sibuk mempersiapkan perlengkapan untuk menuju summit. Sekitar pukul empat, Boca memanggil kami dari luar tenda agar kami segera keluar dan bersiap. Down jacket dipasang,  bahkan hingga empat lapis baju yang dipakai. Aku memandang ke sekitar, sudah banyak pendaki lainnya yang bersiap juga untuk berangkat summit. Cuaca cerah. Langit berbintang. Lengkap sudah, Gunung Aconcagua memanggil kami.

Suatu Ketika di Puncak

 “I’m the one that’s got to die when it’s time for me to die, so let me live my life the way I want to.”

Jimi Hendrix

30572021_10210691996845639_3500532074341728256_n

Aku menarik napas dalam-dalam. Hanya bisa lewat mulut. Atau menarik nafas bukan kata yang tepat sepertinya. Yang paling cocok menghirup napas mungkin. Ah, apapun itu. Kadar oksigennya tipis, sudah di ketinggian 6900 mdpl. Puncak Aconcagua sudah terlihat. Kalau aku berjalan terus dengan pasti, dalam dua puluh menit bisa sampai. Tapi sering ku berhenti, dan berjalannya pun tidak pasti lurus. Kadang ke kiri, kadang ke kanan, sesuka hati saja. Biar apa? Susah berjalan pake crampon es, jadi harus tidak lurus agar kakinya tidak sakit.

Awan mendung sudah menampakkan diri di kejauhan. Aku hanya berharap dapat mencapai puncak sebelum semua pemandangan indah itu tak terlihat. Seperti Elbrus, aku tidak bisa melihat apa-apa. Sesampainya di puncak pun badai tiba, putih saja semuanya. Tidak terlihat seperti yang di foto orang-orang ketika berpose di titik tertinggi Eropa itu.

Aku kembali berjalan. Terkadang berpapasan dengan pendaki yang sudah tiba terlebih dahulu di puncak. Atau dilewati pendaki lain yang jalannya lebih cepat. Kami santai saja. Yang penting tidak menyerah. Akhirnya  setelah satu jam menyeret kaki, tiba jua di puncak. Jalannya berbatu sebelum mencapai puncaknya yang menyebabkan aku kepayahan melangkah. Crampon ini sungguh menyiksa.

Seperti yang dikatakan berulang kali oleh orang-orang, dibalik kesusahan ada kemudahan. Ada hasil yang dicapai. Dan inilah aku. Berdiri di titik tertinggi benua Amerika. Alhamdulilah. Rekanku menangis dan memelukku. Aku larut dalam haru. Kulihat orang-orang bersuka ria, seakan-akan perjalanan menuju puncak ini tiada terasa. Ah, mereka bercanda kalau tidak memikirkannya. Ini perjalanan bikin lelah.

Aku merasa hanya menikmati puncak selama sekitar lima menit sahaja, sebelum terburu-buru untuk mengeluarkan berbagai macam bendera dari tas ransel yang kubawa. Ada banyak kewajiban yang mesti kuselesaikan di puncak ini. Ini masalah tanggung jawab. Jadi, dengan segala upaya, semua bendera yang dibawa berhasil kami abadikan di puncak. Memakan waktu lama, karena berganti dengan orang-orang yang ingin berfoto juga di iconic puncak Aconcagua, sebuah salib dari besi yang terpancang disitu.

27368541_10210196987310710_8720988893817731877_o

Ketika bendera terakhir selesai diabadikan, Guide kami berseru agar segera turun. Badai akan tiba katanya. Benar saja, yang tadinya masih bisa melihat barisan pegunungan Andes, sekarang sudah putih semua. Lautan awan mulai menutup pemandangan sekitar. Hujan es pun berjatuhan dari langit. Aku yang bahkan belum sempat mengabadikan pose keren sendirian di puncak pun segera membereskan bendera dan peralatan yang berserakan.

Beginilah kalau mendaki gunung dengan membawa berbagai macam tanggung jawab (kami mendaki gunung Aconcagua dengan dukungan beberapa sponsor, dimana salah satu kontraprestasinya adalah mengibarkan logo perusahaan di puncak). Semuanya mesti dipenuhi. Ini bicara tentang komitmen. Kalau naik gunung dengan biaya sendiri, pasti aku bisa menikmati semuanya. Pengandaian saja. Aku hanya ingin duduk saja di tanahnya. Berselimutkan angin dingin dan sinar emas mentari. Menyeruput cokelat hangat yang kubawa dengan menggunakan termos. Mengabadikan setiap detail yang ada dengan kamera tercanggih yang kumiliki, mata sebagai lensa dan otak sebagai mesinnya. Sesederhana itu.

Pun, kami bergegas turun. Sempat ku toleh ke puncak, berjanji pada diri sendiri, bahwa suatu saat nanti akan kembali lagi. Kutarik nafas, lalu melangkah meluncur pada salju yang membentang di sepanjang jalur.

8 Januari 2018
Berada di camp 3 lagi untuk bermalam, dan hari ini akan melanjutkan perjalanan turun kembali hingga basecamp Plaza de Mulas. Sekitar pukul empat sore, kami semua tiba dengan selamat di basecamp. Perjalanan turun yang melelahkan. Walau begitu, euforia berhasil summit sehari sebelumnya memberikan energi tersendiri kepada kami. Dengan semangat menggebu untuk memberikan kabar keberhasilan ini kepada rekan-rekan di tanah air.

Cuaca ketika turun cukup jelek, terutama dari Camp 1 menuju basecamp. Hujan salju kembali mendera.

27356234_10210196987910725_7226765287385996159_o

9 Januari 2018
Hari ini perjalanan turun kami lanjutkan hingga ke Camp Confluencia. Dan melewati kembali perjalanan sejauh 25 km. Penuh dengan lamunan dan kesakitan karena kaki sudah melepuh. Tetapi, membayangkan perjalanan pulang kembali ke tanah air sudah membuatku tetap bersemangat. Cuaca sempat panas, sebelum awan gelap menyelimuti langit Aconcagua. Untung saja, hujan derasnya muncul ketika kami semua sudah tiba di basecamp.

10 Januari 2018 
kali ini perjalanan kami lanjutkan hingga ke Horcones, pintu gerbang Aconcagua. Dilanjutkan perjalanan dengan naik mobil van hingga kembali ke kota Mendoza. Alhamdulilah, tuntas sudah.

27500720_10210196984510640_7038198796230509267_o

dipost pada:

JAKARTA, 25 Maret 2019

ditulis oleh Patuan Handaka Pulungan