Catatan Perjalanan: GUNUNG BINAIYA

Halooo guys!

Di catatan kali ini, aku akan menulis lagi tentang perjalanan kami sewaktu menjalani Ekspedisi Saptanusa, Ekspedisi Seven Summits Indonesia. Kali ini adalah tentang perjalanan di Ambon. Yap, ini adalah tentang Gunung Binaiya, gunung tertinggi di Kepulauan Ambon.

And, here we are….

2

My Journey!

Screen Shot 2016-01-31 at 2.34.35 PMScreen Shot 2016-01-31 at 2.28.29 PM

Pendakian Gunung Binaiya ini merupakan pendakian gunung keempat yang kami jalanin dalam Ekspedisi 7 summits Indonesia. Selepas dari tanah Celebes, Tim Ekspedisi Saptanusa bertolak ke Ambon. Tiba di tanah Ambon di pagi hari, di bandara kami disambut oleh semua anggota korwil STAPALA yang berdomisili disana (penempatan kerja). Selanjutnya kami diantar ke Pelabuhan Ambon untuk kemudian menyeberang ke Masohi di Pulau Seram. Perjalanan menyeberang dengan kapal laut tersebut membutuhkan waktu sekitar tiga jam lebih.

3

19

Setiba di Kota Masohi, Pulau Seram, kami bergegas ke kantor Balai Taman Nasional Manusela, mengurus perizinan. Sempat ada hambatan ketika surat keterangan sehat diminta oleh Balai, dimana kami tidak membawa hard filenya. Akhirnya setelah berbagai upaya, perizinan pun keluar juga. Di kesempatan itu, kami juga ngobrol langsung dengan Kepala Balai, Beliau mengingatkan kami akan pentingnya air dalam pendakian. Baiklah, ini menjadi pengingat. Dan ternyata hal tersebut kejadian juga dalam pendakian ini. Nanti aku ceritakan.

Siang itu kami menuju ke Desa Piliana, desa terakhir sebelum memulai pendakian. Perjalanan via darat ini memakan waktu sekitar empat jam. Dalam perjalanan, mobil yang kami tumpangi sempat melintasi sungai yang airnya cukup dangkal namun lebar. Namun, menurut Bapak supirnya, sungai ini bisa dilewati hanya di kemarau, ketika debit air mengecil. Aih, aku membayangkan seandainya di musim penghujan, bisa-bisa batal juga kami ke Gunung Binaiya.

Gunung Binaia atau Binaiya atau Binaija adalah sebuah gunung yang terletak di Pulau Seram, Maluku di negara Indonesia. Gunung Binaiya merupakan gunung  tertinggi di Provinsi Maluku dengan ketinggian 3.055 meter di atas permukaan laut (mdpl) masuk ke dalam wilayah Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Gunung ini membentang di Pulau Seram dan masuk ke  dalam lingkup Taman Nasional Manusela yang mempunyai luas 189.000 hektar, atau sekitar 20% wilayah Pulau Seram. Gunung Binaiya juga dikenal dengan nama 'Mutiara Nusa Ina'. Gunung Binaiya mempunyai Hutan Montane dan Hutan Ericaceous. (sumber https://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Binaia).

Tiba di ujung jalan yang bisa dilewati mobil, karena jalannya putus, ternyata Desa Piliana nya belum lah sampai, kami masih harus berjalan kaki sekitar satu jam. Lumayan juga. Sepertinya hari itu hari yang baik, di jalanan putus itu kami bertemu langsung dengan Bapa Raja, seseorang yang secara adat dan administratif memimpin Desa Piliana. Aku bersyukur karena perjalanan kami dimudahkan. Awalnya sempat merasa kesulitan bagaimana nantinya mencari rumah Bapa Raja, di daerah yang tidak kami kenal sama sekali. Bahkan di catper-catper yang ada juga sangat sedikit sekali informasi tentang ini. Dalam perbincangan kami dengan Beliau, kami menjelaskan maksud kami untuk menumpang di rumahnya malam itu sekaligus niatan mendaki ke Gunung Binaiya. Perkenalan tersebut awal yang baik menurutku.

Bapa Raja ini menurutku orang yang kepribadiannya menyenangkan. Beliau sangat informatif, dan tidak berbelit-belit. Bahasa Indonesianya juga sangat baik. Ternyata Beliau juga baru pulang dari berburu, ketika bertemu dengan kami. Usianya sudah cukup tua, pembawaannya menenangkan. Berwibawa sekali.

Memasuki kawasan desa, orang-orang desa ramai memperhatikan kami. Duh, serasa jadi artis! Tiba di rumah Bapa Raja sekitar pukul 6 sore, langit masih terang. Beberapa pemuda desa datang menghampiri kami. Mereka menanyakan apakah kami mau naik Gunung Binaiya, sembari menawarkan jasa untuk menjadi guide. Di kesempatan itu, aku sekalian mencari informasi, bagaimana kondisi medan pendakiannya. Juga tentang waktu tempuh serta info-info lainnya.

Malam itu kami habiskan dengan packing dan istirahat. Listrik belum masuk ke desa tersebut, namun tonggak listrik sudah berdiri gagah dimana-mana. Menurut penuturan orang-orang desa yang berkumpul di teras rumah Bapa Raja, karena tertarik dengan kedatangan kami, tonggak listrik tersebut sudah berdiri sejak dua tahun yang lalu, namun sampai sekarang belum dialiri oleh listrik. Bapa Raja punya sebutan keren untuk tonggak-tonggak listrik tersebut, yaitu Bunga Desa, hahaha…ada-ada aja! Oh ya, pada malam itu kami beristirahat di rumah Bapa Raja. Walaupun sempat ditawarkan tidur di guest house yang khusus dibuat untuk tamu.

Oh ya, sekilas info. Di gunung Binaiya, terdapat dua jalur pendakian umum. Satu dari sisi Selatan, atau dari Desa Piliana, satunya lagi dari sisi Utara, dari desa Kanikeh. Pendakian dari  Utara lebih dahulu populer, sebelum dari Selatan dibuka. Di kemudian hari, para pendaki lebih memilih naik Binaiya dari jalur Selatan karena selain waktunya yang lebih singkat, juga jalurnya yang lebih jelas. Dan karena tim kami sudah melakukan riset terlebih dahulu, kami memutuskan waktu itu untuk naik dari jalur Selatan.

Terdapat 4 shelter yang dibangun oleh Pemerintah, melalui Balai Taman Nasional Manusela, bekerjasama dengan masyarakat sekitar kalau mendaki dari jalur Selatan. Shelter tersebut berupa bangunan semi permanen, terbuat dari kayu, memiliki atap. Letaknya berada di Yamitala, Aimoto, High Camp, dan terakhir Isilali. Tentunya kalau mau naik dari jalur Selatan, bila disesuaikan dengan timeline perjalanan, tentunya tidak perlu membuka tenda sama sekali karena bisa bermalam di tiap shelter.

Pagi harinya, sebelum berangkat, kami mampir ke rumah tetua adat. Tetua adat melakukan ritual adat yang dimaksud untuk memohonkan keselamatan atas perjalanan kami. Setelahnya kami pun mulai berangkat. Tim yang berangkat berjumlah tujuh orang, yaitu lima orang atlet didampingi dua warga desa, Bapak Aten dan Bapak Guru. Satu orang dari kami, Ebi namanya, yang bertindak sebagai tim darat, tinggal di rumah Bapa Raja. Satu pesan dari istri Bapa Raja yang aku ingat betul, bahwa air adalah sumber kehidupan. Selalu perhatikan kebutuhan air. Dan aku mengkorelasikan pesan ini dengan pesan dari Kepala Balai. Wah, ada dengan sumber air di Gunung Binaiya ini? Bukannya menurut catatan perjalanan yang aku baca dan penuturan Pak Aten, sumber air hampir terdapat di semua shelter di Binaiya?

Sekilas mengenai guide kami yang berjumlah dua orang. Pak Aten adalah warga Desa Piliana, beliau berumur sekitar 30 tahun. Malam sebelumnya beliau yang setia ikut mendengarkan cerita kami di teras rumah Bapa Raja bersama putrinya yang masih berumur 6 tahun, sebelum akhirnya menawarkan diri untuk menjadi salah satu guide kami. Yang satu lagi adalah kita sebut saja Bapak Guru. Karena namanya sendiri aku tidak tahu, beliau cukup dipanggil Bapak Guru aja katanya. Sudah memiliki kalau tidak salah empat orang anak. Padahal menurutku sih usianya masih muda, belum sampai 30 tahun.

Pak Aten orangnya humoris, dan penuh rasa ingin tahu. Sedangkan Bapak Guru, menurutku orang yang tenang dan penuh pertimbangan. Di sepanjang perjalanan nantinya, Pak Aten yang memimpin jalan, dan Bapak Guru yang menjadi Sweepernya. Dan, mereka berdua adalah para pria yang tangguh. Bisa memimpin perjalanan dan mengetahui ruas-ruas jalur pendakian yang kami lalui, hingga letak-letak mata air.

Perjalanan kami dimulai dengan nafas tersengal-sengal. Peluh mendera, cuaca hari itu panasnya bukan main. Trek pendakiannya dimulai dengan memasuki perkebunan warga, lalu menyusuri sungai kecil (yang membuat sepatu basah). Selanjutnya memasuki kawasan hutan yang ditandai dengan banyaknya pepohonan tumbang. Menurutku treknya lumayan tidak jelas sewaktu memasuki kawasan hutan. Bahkan pendamping kami juga sempat kesulitan menemukan jalannya. Jalan setapak terhapus dan terhalang oleh kayu-kayu besar yang melintang.

Ketika tengah hari tiba, kami sampai di sebuah sungai yang ukurannya kecil, namun deras. kami melepas lelah sejenak sembari mengisi perbekalan air. Pukul 14.00 kami telah tiba di Pos Aimoto. Disini kami memutuskan untuk makan siang. Terdapat aliran air yang cukup jernih di bawah pos ini. Namun menurut penuturan Pak Aten, aliran air ini harusnya lebih besar lagi. wow..berarti memang pengaruh musim kemarau ini sudah sedemikian rupa.

Awalnya kami bermaksud memaksakan perjalanan hari itu sampai di Shelter High Camp, namun menurut Bapak Aten sebaiknya menginap di Aimoto saja, karena menurut beliau jarak ke High Camp masih jauh, sehingga dikhawatirkan berjalan di kegelapan malam. Sebagai ketua tim, akhirnya aku memutuskan untuk bermalam di Shelter Aimoto, selain karena saran Bapak Aten, juga melihat kondisi fisik tim yang mulai kelelahan. Sebuah keputusan yang kelak aku syukuri.

18

Hari ketiga, paginya kami berangkat dari Pos Aimoto. Kami membawa dua jerigen air, dengan pertimbangan di atas sumber mata air kering. Dan benar saja, sepanjang perjalanan, baik di Pos High Camp, Isilali, dan Nasapeha, kami tidak menemukan air, sumber mata airnya kering semua. Pendakian di hari kedua ini benar-benar menguras stamina. Kami dihadapkan dengan beberapa puncak. Ketika berjalan, begitu melihat titik tertinggi di depan mata, kaki semangat melangkah. Namun ternyata masih ada puncak-puncak lainnya menanti. Benar-benar menguji mental. Sempat ingin berhenti di Shelter Isilali, namun mengingat rundown perjalanan, akhirnya kami meneruskan langkah. Menuju tempat tertinggi yang masih bisa didaki hari itu. Mendekatkan diri ke puncak impian.

16

17

15

14

Tiba di Nasapeha sekitar pukul 17.00, disini kami memutuskan untuk mendirikan tenda dan mulai masak untuk makan malam. Waktu itu kami sudah menakar kira-kira air yang kami butuhkan dan kami pakai setiap makan. Terlihat di sekitar tempat kami mendirikan tenda ada genangan air yang mulai mengering. Padahal sewaktu melintasi Puncak Bintang, kami sempat diterpa hujan. Ternyata hanya hujan lokal sepertinya. Karena di Nasapeha terasa kering sekali.

Keesokan paginya, atau hari keempat berada di Pulau Seram, kami memulai perjalanan ke puncak. Jarak dari Nasapeha ke Puncak sekitar satu setengah jam. Bukan hanya jalurnya yang menanjak yang menjadi tantangan,melainkan ketersediaan air lah yang membuat perjalanan ke puncak pada pagi itu terasa berat. Apalagi ketika matahari mulai naik dan terik. Mataku sampai berkunang-kunang dan lemas, akibat dehidrasi. Tapi dibalik tantangan itu semua, sampai sekarang aku masih bersyukur, kami bisa tiba di puncak dengan selamat dan sehat, walaupun lemas.

Perjalanan ke puncak sungguh luar biasa indah. Kami menemukan banyak sekali pohon palem,  seperti yang biasa ada di padang pasir, dan juga rusa! yaa, banyak sekali rusa di kawasan itu. Pemandangannya serasa berada di luar negeri. Apalagi ketika melihat Gunung Bintang di belakang, rasanya tidak percaya kami sebelumnya naik ke puncak Bintang dulu sebelum turun lagi ke Nasapeha kemarin. Di puncak kami memuaskan diri mengambil dokumentasi dan menikmati keindahan alamnya. Ada sekitar satu jam kami di atas puncak Binaiya sebelum mulai turun lagi. Nun tak jauh di depan mata, ada sebuah puncak gunung lagi, yang menurut Pak Aten adalah puncak paling tinggi dari pegunungan tersebut. Namun tidak diperbolehkan untuk didaki.

9

12

10

6

TIba kembali di Nasapeha, masalah air kembali mendera kami. Waktu itu masak dengan sekadarnya, memakai air sehematnya. Waktu itu kami memikirkan alokasi air untuk perjalanan turun hingga tiba di Aimoto, mengingat hanya di Aimoto lah yang masih terdapat sumber air. Dan, ketika berbagi jatah air untuk perjalanan turun, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, alhamdulilaah….masalah air seketika teratasi. Perjalanan kami rasanya dimudahkan oleh Tuhan. Di perjalanan turun aku dan rekan satu tim, Cupang, sesekali berhenti di tengah jalan sambil minum air langsung yang tertampung di daun-daun tumbuhan perdu. Berkali-kali juga berhenti sebentar hanya untuk merasai air hujan. Perjalanan turun ini sangat aku nikmati, bahkan kami bertemu dengan seekor rusa jantan yang berdiri dengan anggun di depanku, berjarak sekitar 3 meter.

Dalam perjalanan turun kami terbagi menjadi dua tim. Aku, Cupang, dan Bapak Aten memimpin jalan dengan berjalan duluan. Namun, beberapa kali kami ketinggalan oleh langkah kaki Pak Aten yang sangat cepat. Kayaknya beliau juga tidak sabar ingin segera pulang. Di rombongan belakang ada Turus, Jebul, dan Saha ditemani oleh Bapak Guru.

Ada satu momen yang sempat membuat perjalanan terhenti, sewaktu kami tiba di Isilali. Bapak Guru memanggil-manggil, ternyata tim belakang terpisah. Pak Aten segera menyusul sumber suara. Aku dan Cupang berusaha mengontak tim dengan HT yang kami bawa. Sempat timbul rasa waswas, mengingat jalur pendakian yang memang berbahaya, dimana hanya terdapat jalan setapak selebar 30 senti, disebelah kiri jurang, dan disebelah kanan adalah tebing.

Aku memanggil-manggil via HT, namun tidak ada jawaban. Dan kemudian berusaha ikut menyusul Pak Aten masuk ke dalam hutan di belakang Shelter Isilali. Sumber suaranya memang berasal dari sana. Setelah berteriak memanggil cukup lama, akhirnya ada balasan suara. Ternyata Pak Aten sudah ketemu dengan mereka. Dan ternyata, Saha, yang memegang GPS, keliru membacanya, jadi mengambil jalan lurus map, yang ternyata keluar dari jalur. Mereka masuk ke hutan, dan memang tembus ke Shelter Isilali, namun tentunya dengan merimba, tidak ada jalan setapak. Huft, apa yang ditakutkan tidak terjadi.

Tiba kembali di Shelter Aimoto sekitar pukul enam sore, kami minum dengan rakusnya di sungai kecil tersebut. Tim di belakang baru tiba pukul tujuh malam, dimana hari sudah gelap gulita. Aku pun lega ketika melihat mereka, akhirnya tim berkumpul kembali dan tidak ada kekurangan apapun. Pak Aten malam itu sempat bercerita misteri. Ternyata….dikaburkan aja deh, biar tetap misteri, hehe… Malam itu kami berpuas-puas memakai air, setelah hampir 30 jam terakhir berhemat air. Ada yang dijadiin minuman hangat, minuman jahe, susu, buat sop, dan lain-lain.

Hari kelima di Pulau Seram, atau hari keempat di Gunung Binaiya, pagi harinya hujan turun dengan derasnya, seakan menghapus kekeringan yang sebelumnya mendera kawasan pegunungan Binaiya. Awalnya kami berencana berangkat pagi hari, namun baru pukul sepuluh pagi kami mulai berjalan. Sekitar pukul 14.00 kami pun tiba kembali dengan selamat di Desa Piliana. Dan lagi-lagi ada momen dimana aku dan Cupang ketinggalan Pak Aten. Ketika menyusuri sungai kecil dalam perjalanan turun, kami kehilangan jejak Pak Aten. Dari GPS yang aku bawa, jalurnya ada, namun tidak terlihat jalur setapak keluar sungainya. Dan lagi-lagi, Pak Aten menyusul kami ke belakang, mungkin karena beliau tidak melihat kami lagi di belakangnya.

Di rumah Bapa Raja kami semua sudah disambut dengan hidangan Papeda dengan ayam goreng dan indomie rebus, waaaah, nikmat sekali. Selama empat hari terakhir aku sudah bosan dengan makanan-makanan instan yang kami bawa. Sore itu setelah bersih-bersih, kami berpesta. Alhamdulilah, perjalanan ini berakhir dengan baik. Dan kami pun siap melanjutkan perjalanan ke puncak berikutnya, yaitu di tanah Lombok. See you!

4

TIMELINE

GUNUNG BINAIYA – AMBON

07092015

06.50 Tiba di Ambon

09.15 Pelabuhan Ambon

11.25 Tiba di Pulau Seram

14.10 Perjalanan ke Desa Piliana

17.55 Tiba di jalan putus sebelum Piliana

18.30 Tiba di Desa Piliana

08092015

08.00 Persiapan

09.00 Start pendakian

10.40 Pos Yahe 578 mdpl

11.20 Shelter Yamitala

12.38 Pos Pelihata 1065 mdpl

13.35 Pos Lukuamano

14.04 Shelter Aimoto 1278 mdpl

09092015

08.56 Start pendakian

09.23 Pos Aiulasanai 1443 mdpl

10.36 Puncak Teleuna 1804 mdpl

11.40 Shelter High Camp 2008 mdpl

13.13 Puncak Manukupa 2313 mdpl

13.37 Shelter Isilali 2185 mdpl

16.25 Puncak Bintang 2673 mdpl

17.01 Shelter Nasapeha 2579 mdpl

10092015

07.10 Start pendakian

08.40 Puncak Binaiya 3027 mdpl

10.50 Nasapeha

13.00 Start turun

18.06 Tiba kembali di Shelter Aimoto

11092015

10.00 Start turun

14.07 Desa Piliana

7

Bintaro, 31 Januari 2016

-Patuan Handaka Pulungan-